RSS

22 Juni 2009

PILLEG 2009, MEMBELI KUCING DALAM KACA

Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) dalam penentuan perolehan suara bagi para (Caleg) Calon Legislatif dengan perolehan suara terbanyak mengundang pro dan kontra beberapa kalangan, hal ini dikarenakan sistem perolehan suara terbanyak memang akan memberikan harapan baru bagi bangsa Indonesia karena rakyat secara penuh diberi kebebasan untuk memilih dan menentukan siapa calon-calon wakil mereka yang akan dipercaya untuk duduk diparlemen tanpa melihat bagaimana kondisi pendidikan politik masyarakatnya secara komprehensif apakah sudah matang apa belum, sehingga mereka menganggap bahwa inilah sistem atau cara yang terbaik yang harus diambil untuk membuat secercah perubahan di masa mendatang. Akan tetapi sistem pemenangan dengan perolehan suara terbanyak pada pemilihan legislatif ini masih harus dikaji dan dipertimbangkan kembali mengingat mayoritas pemilih di Indonesia masih belum matang pendidikan politiknya, lebih-lebih masih banyaknya juga masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis (buta huruf), khususnya pada masyarakat pedesaan yang masih mempunyai kesadaran rendah terhadap dunia pendidikan. Sehingga hal ini akan sangat mudah dan memberikan peluang yang sangat besar bagi oknum-oknum caleg yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan money politik.
Realitas ketidaksiapan masyarakat Indonesia menghadapi sistem pemilihan baru dengan perolehan suara terbanyak tidak hanya terlihat pada para pemilihnya, tapi para kontestan pemilunyapun masih terlihat belum benar-benar siap menghadapinya. Hal ini terlihat nyata ketika para caleg harus bertarung dengan caleg dalam satu parpol sehingga mereka terpaksa harus sikut-sikutan antar teman sendiri dan menggunakan segala macam cara untuk merebut suara terbanyak meski harus memperoleh suara dengan cara membeli. Ketika mereka ternyata harus kalah dalam pertarungan politik maka merena tidak hanya dirugikan secara finansial tetapi juga psikologis, karena sudah berapa banyak calon-calon yang belum bisa menerima kekalahan dengan lapang dada dan lebih dewasa sehingga mereka harus masuk ke rumah sakit jiwa atau bahkan yang lebih ironis lagi mereka harus mengakhiri hidupnya hanya karena kalah dalam pertarungan politk. Tidak cukup sampai di situ masih banyak orang-orang disekitar mereka yang akan menanggung konsekuensinya, bagi para ibu harus siap menjadi janda, bagi para bapak harus siap menjadi duda dan bagi anak-anak mereka juga harus siap untuk menjadi seorang yatim, tidak jarang mereka harus merusak hubungan antar tetangga, antar teman, bahkan hubungan keluarga demi sebuah pertarungan politik yang semua ini terjadi semata-mata karena ketidak dewasaan mereka dalam berplitik.
Hasil pemilihan dengan sistem suara terbanyak ini juga mempunyai kelemahan dalam hal siapa yang akan bertanggung jawab ketika caleg terpilih tidak mampu membawa aspirasi rakyat, parpol tentunya tidak mempunyai kewenangan penuh dalam hal ini karena caleg terpilih benar-benar dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga ada kemungkinan akan banyak lahir caleg-caleg yang kurang mempunyai tanggung jawab terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat. Karena pada realitas pilleg 9 april kemarin masyarakat memilih bukan karena betul-betul tahu profil dari masing-masing calon legislatifnya apakah sudah baik dari sisi moral, pendidikan, pengalaman, visi dan misinya maupun pengabdiannya kepada masyarakat, tetapi masyarakat hanya memilih secara kebetulan atau bahkan sekedar asal-asalan saja agar tidak dikatakan golput mengingat golput diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau bahkan masyarakat memilih akibat tekanan psikis karena sudah terlanjur menerima sejumlah uang dari caleg tertentu.
Sebagai pihak yang terkait dengan pemilu baik secara langsung maupun tidak, KPU (Komisi Pemilihan Umum), Pemerintah dan juga MK (Mahkamah Konstitusi) selaku pembuat kebijakan dalam sistem pemilu yang akan berlangsung seharusnya mampu mengkalkulasi realitas dan semua kemungkinan yang akan terjadi pada pemilu yang akan dilaksanakan sehingga hal-hal yang tidak diinginkan dapat diminimalisir. Langkah-langkah yang dapat diambil oleh pihak-pihak terkait antara lain pertama, KPU (Komisi Pemilihan Umum) selaku panitia dalam pemilu benar-benar sudah mempersiapkan dengan matang semua kebutuhan yang akan digunakan dalam pemilu dengan cara berkoordinasi dengan berbagai pihak, seperti pemutakhiran Daftar Pemilih Tetap (DPT) KPUD dan PPK berkoordinasi dengan tiap-tiap kelurahan atau desa setempat agar diperoleh data yang lebih falid, proses tender logistik dan distribusinya juga melibatkan semua pihak. Kedua, KPU (Komisi Pemilihan Umum) bersama dengan Pemerintah proaktif dalam mensosialisasikan sistem pemilihan baru yang akan dipakai sehingga masyarakat tidak kebingungan dalam memberikan suaranya saat pemilu berlangsung, karena disinyalir pemilu legislatif 9 April 2009 ini merupakan pemilu paling jelek sepanjang sejarah. Ketiga, parpol beserta para calon legislatif juga melakukan sosialisasi secara merata dan menyeluruh kepada masyarakat dengan cara bertemu langsung dengan konstituennya sehingga tidak hanya sekedar memajang baleho atau poster di pinggir-pinggir jalan agar masyakat benar-benar bisa memberikan penilaian yang objektif kepada calon legislatif yang akan mereka pilih sehingga akan menghasilkan sebuah pilihan terbaik untuk masa depan bangsa Indonesia dan tidak seperti “membeli kucing dalam kaca” yaitu kita hanya bisa melihat barang yang akan dibeli dari luar kaca tapi tidak bisa melihat lebih dekat dan lebih dalam kualitas dari barang yang akan kita beli karena kita dibatasi oleh kaca, hal ini sangat perlu untuk dilakukan agar masyarakat secara selektif mendapat kebebasan untuk memilih calon wakilnya di DPR. Apabila beberapa hal ini tidak dilaksanakan secara maksimal maka bisa dipastikan wakil rakyat yang akan duduk di parlemen untuk periode 2009-2014 ini akan lebih jelek dengan periode sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar